Jemari hujan begitu setia mengetuk pintu
jendela kamar segi empatku pagi ini. Air jernih mulai membelai atas yang telah
lusuh dimakan usia, kemudian turun tergelincir dari celah-celah dinding tembok putih rumahku
dan meluncur indah ke pendaratan terakhir, yaitu tanah berbau segar
menghidupkan suasana.
Setelah 2 jam menunggu, mentari mulai
semangat menyapa kami. Kesejukan dan jejak air jernih masih terlihat jelas di antara
bangunan-bangunan sederhana tempat dimana penghuni desa ini berteduh. Hawa
dingin masih terasa saat aku membuka pintu jendela kamar saya, satu per-satu
kaki mungil kulangkahkan menuju pintu rumahku yang berada di Desa Kandang
semangkon, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Dari daun pintu yang telah
terbuka, saya terpanah akan segerombolan manusia kokoh menuju arah selatan
dengan cangkul sebagai teman setia dalam kesehariannya, mereka para petani yang
tak ada rasa jenuh untuk mengolah hasil alam yang telah disediakan oleh Sang Kuasa.
Dari langkah ke langkah mereka menyusuri tanah basah pagi ini dengan wajah yang
cerah, setiap bertemu dengan sesama saudara di desa ini mereka saling menyapa
dengan penuh ramah tamah, sungguh suatu kesejukan hati melihat suasana kekerabatan
nan erat.
Tak lama kemudian kulanjutkan langkah kakiku
ke halam rumah kemudian kususuri jalan desa yang sangat asri, di samping kanan
kiri terdapat rumah para penduduk dengan banyak tanaman hijau yang seakan
melambaikan tangannya padaku, mereka menyapa dengan ditemani hembusan angin
yang begitu ramah membelai kain busanaku. Kulihat anak-anak kecil berlari
kegirangan memainkan air jernih yang telah diturunkan dari tempatnya yang
tinggi, betapa senangnya mereka. Puas aku menjamah jalan desa dengan menuju ke
arah utara, mataku mengintip Laut yang maha luas yang di sampingnya terdapat
pasir laut berpadu dengan batu alam yang menambah indah pemandangan Laut
desaku. Aku berdiri persis di tepi laut itu, di atas pasir halus yang begitu empuk,
labih empuk daripada sandal kesukaanku yang telah kutinggalkan di belakang
punggungku. Tak hentinya aku memandang kagum lukisan indah hasil karya Sang Maha
Pencipta. Di tempat itu, aku lagi-lagi mendapati pemandangan yang dapat mencuri
perhatianku, perahu para nelayan yang berjajar rapi dengan warnanya yang sempurna
berpadu dengan warna laut biru yang bersih. Kupandangi dalam-dalam para nelayan
yang menunggangi perahu tersebut, kemudian bersama dengan ombak yang berhembus
mereka memulai perjalanan mereka untuk mengeruk rejeki dari dalam dasar Laut.
Tak terasa matahari kembali menyapaku dengan
pancaran sinarnya yang lebih tajam, Aku pun kembali ke Singgasana tempat aku
dilahirkan. Lelah selama perjalanan mengintai indahnya desa, aku bergegas
meracik teh hangat kemudian kulanjutkan untuk melihat keseuruhan suasana desa
ke lantai dua rumah kecilku. Sesampainya aku di lantai yang kutuju, kupusatkan
pandanganku ke Sofa hijau sebagai objek tempat aku akan menyandarkan tubuhku,
ku letakkan tubuh lelah ini dengan menyeduh teh sambil memandangi keasrian
kampung halamanku. Memang inilah Desaku, Desa Kandang Semangkon suatu anugrah
tersendiri bagiku, bagaimana tidak, letaknya yang begitu strategis, desa
agraris juga desa bahari sekaligus. Jika aku melihat ke arah selatan maka akan
kudapati jalan raya pantura sebagai pemenggal wilayah tanah merah pertanian,
kemudian jika pandanganku ku arahkan ke sebelah utara maka akan terpampang
dengan jelas Laut yang begitu luas nan indah. Hati yang begitu damai tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata. Kulanjutkan menyeduh teh hangatku dengan diselingi
angin sejuk yang setia membelai tiap pori-pori kulitku.